Berikut ini Materi PAI Kelas 11 Bab 2 Bukti Beriman: Memenuhi Janji, Mensyukuri Nikmat, Memelihara Lisan, Menutupi Aib Orang Lain Sesuai dengan Kurikulum Merdeka Tahun 2022.
Rangkuman Materi PAI Kelas 11 Kurikulum Merdeka Bab 2.
Rasulullah SAW bersabda:
الإِيْمَانُ بِضْعٌ وَ سِتُّونَ شُعبَةً والحَيَاءُ شُعبَةً مِنَ الإِيْمَانِ
Artinya: iman itu memiliki 63 cabang, sedangkan malu menjadi bagian dari cabang iman. (HR. al-Bukhari)
Hadist ini menjelaskan bahwa iman itu memiliki 63 cabang (bagian). Di antara cabang iman yang dibahas sesuai materi ajar ada 4, yakni:
1. Memenuhi Janji
2. Mensyukuri nikmat
3. Memelihara lisan, dan
4. Menutupi aib orang lain.
Namun rangkuman kali ini hanya akan membahas tentang 2 cabang iman, yaitu memenuhi janji dan mensyukuri nikmat
1. Memenuhi Janji
a. Pengertian
Padanan kata janji dalam bahasa arab adalah عقد (‘aqad). Melalui kata ini, mucul kata yang sering kita dengar, yakni akad, akidah, atau akad nikah. Menurut bahasa, akad berarti perjanjian atau ikatan yang kuat. Jadi memenuhi janji merupakan kewajiban dan menjadi tanda orang itu beriman atau tidak.
Janji itu harus ditepati dan dipenuhi, karena nanti akan diminta pertanggungjawaban. Sebagaimana firman Allah SWT.
….وَاَوْفُوْا بِالْعَهْدِۖ اِنَّ الْعَهْدَ كَانَ مَسْـُٔوْلًا
Artinya: … dan penuhilah janji, karena itu pasti diminta pertanggungjawabannya. (QS. al-Isra (17): 34)
Perhatikan juga isi kandungan Q.S al-Maidah ayat 1 dan Q.S an-Nisa ayat 32. Memenuhi janji menjadi faktor penting keberhasilan dan kesuksesan seseorang. Begitu juga sebaliknya,
Coba amatin di sekeliling kalian, orang yang selalu menepati janjinya, akan dipercaya semua orang, selalu dicari keberadaannya, karena jiwa amanahnya sudah membekas di hati banyak orang. Itu sebabnya, jika ditinjau dari sudut pandang islam, memenuhi janji harus diperhatikan dengan sungguh-sungguh. Jika tidak! maka seseorang itu sudah terlibat dalam dosa.
Menurut bahasa, akad berarti perjanjian atau ikatan yang kuat. Jadi memenuhi janji merupakan kewajiban dan menjadi tanda orang itu beriman atau tidak.
b. Pembagian Janji
1) Janji kepada Allah SWT.
Manusia telah membuat perjanjian kepada Allah SWT semenjak di alam ruh/Rahim untuk mengimani Allah sebagai Rabb-Nya. Sebagaimana firman Allah SWT:
وَاِذْ اَخَذَ رَبُّكَ مِنْۢ بَنِيْٓ اٰدَمَ مِنْ ظُهُوْرِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَاَشْهَدَهُمْ عَلٰٓى اَنْفُسِهِمْۚ اَلَسْتُ بِرَبِّكُمْۗ قَالُوْا بَلٰىۛ شَهِدْنَا ۛاَنْ تَقُوْلُوْا يَوْمَ الْقِيٰمَةِ اِنَّا كُنَّا عَنْ هٰذَا غٰفِلِيْنَۙ
Artinya: "Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi (tulang belakang) anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap roh mereka (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, “Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini” (Q.S al-A’raf (7): 172)
Ayat ini menjelaskan bahwa setiap manusia, saat berada di alam ruh/rahin sudah menyampaikan janji setia untuk bertauhid dan menjalani hidup didasari fitrah. Misalnya saat kita melakukan kebaikan (amal shaleh), hati menjadi tenteram. Sebaliknya, jika berbuat dosa, maka akan ada keresahan dalam hati. Itulah fitrah yang seharusnya memandu langkah manusia dalam kehidupan sehari-hari.
2) Janji kepada sesama manusia
Janji kepada manusia adalah janji-janji yang sudah dibuat dan disepakati baik sebagai pribadi maupun dengan lembaga atau pihak lain. Melalui janji-janji inilah reputasi dan nama baik dipertaruhkan. Namun, Islam menggariskan bahwa tidak semua janji itu ditunaikan. Misalnya adalah janji yang bertentangan dengan syariah islam. Rasulullah SAW bersabda:
“Setiap syarat (ikatan janji) yang tidak sesuai dengan Kitbullah, menjadi batil, meskipun seratur macam syarat.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Contoh janji yang ditunaikan antar sesama manusia, seperti pernikahan, perdagangan, perniagaan, dsb yang sesuai dengan syariat.
c. Balasan Memenuhi Janji
Berikut ini manfaat memenuhi janji, antara lain:
1) Mendapatkan predikat sebagai muttaqin dan menjadi sebab tergapainya sifat muttaqin (Q.S Ali Imran (3): 76)
2) Menjadi sebab datangnya keberhasilan, keamanan dan ketentraman, serta jauh adanya konflik dan perselisihan.
3) Menghindari pertumpahan darah, dan terjaga dari mengambil hak orang lain, baik dari pihak muslim atau non muslim (Q.S al-Anfal (8): 72)
4) Dapat menghapus kesalahan, dan menjadi sebab dimasukkan ke dalam surga (Q.S al-Baqarah (2): 40 dan Q.S al-Maidah (5): 12)
2. Mensyukuri Nikmat
Syukur menurut bahasa berarti membuka dan menampakkan. Lawan dari syukur adalah kufur, yang artinya menutup dan menyembunyikan. Perhatikan Q.S Ibrahim (14): 7, yang berbunyi:
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat”.
Syukur merupakan bentuk keridhaan atau pengakuan terhadap rahmat Allah SWT dengan setulus hati, yang diwujudkan melalui ucapan, sikap, dan perilaku. Sementara makna nikmat, menurut bahasa adalah pemberian, anugerah, kebaikan dan kesenangan yang diberikan manusia, baik berupa rezeki, harta, keluarga maupun segala kesenangan yang lain.
Perwujudan Syukur. Syukur harus dilakukan dengan 3 hal, yakni: melalui lisan, hati, dan anggota badan. Misalnya dengan lisan yang selalu mengucapkan syukur, misalnya banyak-banyak mengucapkan hamdalah, dan kalimat-kalimat pujian lainnya.
Setelah itu, semua nikmat tersebut diwujudkan dan difungsikan oleh anggota tubuhnya dalam ketaatan hanya kepada Allah SWT. Imam al-Ghazali membagi syukur itu menjadi 3 bagian, yaitu: ilmu, hal (keadaan), dan amal (perbuatan).
Melalui ilmunya, seseorang menyadari bahwa segala nikmat yang diterima itu semata-mata berasal dari Allah SWT. Selanjutnya amal perbuatannya sesuai dan sejalan dengan fungsi nikmat tersebut diberikan. Jadi, pribadi yang bersyukur itu, ditandai dengan menyatunya hati, lisan dan perbuatan.
c. Keuntungan menjadi orang bersyukur
1) Jauh lebih produktif, saat menghadapi problem, waktunya tidak dihabiskan untuk mengeluh
2) Lebih bahagia dan optimis, selalu siap mencari solusi karena semua yang ia hadapi selalu diambil hikmah dan pelajarannya
3)Manfaatnya ke diri sendiri, Selalu merasa rahmat-Nya tidak pernah terputus dan selalu dilimpahkan.
Allah berfirman dalam Q.S Luqman ayat 12:
وَلَقَدْ اٰتَيْنَا لُقْمٰنَ الْحِكْمَةَ اَنِ اشْكُرْ لِلّٰهِ ۗوَمَنْ يَّشْكُرْ فَاِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ
Artinya: Dan sungguh, Kami benar-benar telah memberikan hikmah kepada Luqman, yaitu, “Bersyukurlah kepada Allah! Siapa yang bersyukur, sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri. Siapa yang kufur (tidak bersyukur), sesungguhnya Allah Mahakaya lagi Maha Terpuji.
3. Memelihara Lisan
a. Pentingnya menjaga lidah
Allah SWT berfirman dalam Q.S An-Nur (24) ayat 24:
يَّوْمَ تَشْهَدُ عَلَيْهِمْ اَلْسِنَتُهُمْ وَاَيْدِيْهِمْ وَاَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ
Artinya: Pada hari, (ketika) lidah, tangan, dan kaki mereka menjadi saksi atas mereka apa yang dahulu mereka kerjakan (Q.S an-Nur (24): 24)
Ayat ini menjelaskan bahwa di akhirtan nanti, anggota tubuh seperti lisan, kaki dan tangan, akan menjadi saksi atas perbuatan buruk yang mereka kerjakan semasa hidupnya.
Kemudian dalam hadist Rasulullah SAW yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a, Nabi Muhammad SAW bersabda:
“barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Hari akhir, maka hendklah berbicara yang baik, atau (jika tidak mampu) maka diamlah.” (HR. al-Bukhari)
b. Lisan: Antara Fitnah, Ghibah, dan Buhtan
Penggunaan lisan yang tidak pada tempatnya akan mengakibatkan 3 hal, yaitu fitnah, ghibah, dan buhtan.
Fitnah adalah bahasa arab yang terdapat dalam al-Qur’an dan dipakai oleh orang Indonesia.Namun fitnah yang dimengeri orang Indonesia berbeda dengan makna fitnah dalam al-Qur’an.
Fitnah dalam al-Qur’an memiliki beberapa arti, antara lain: cobaan, musibah, dan juga siksa di akhirat.
Sedangkan makna fitnah yang dipahami masyarakat di Indonesia berdasarkan KBBI adalah perkataan bohong atau tanpa berdasarkan kebenaran yang disebarkan dengan maksud menjelakkan orang.
Fitnah yang akan dibahas dalam bab ini adalah makna fitnah yang dimaksud oleh orang Indonesia.
Islam melarang perbuatan fitnah karena banyak bahaya yang ditimbulkan, antara lain: penderitaan menyebar kemana-mana.
Ingat bahwa rintisan dan tangisan seseorang yang difitnah termasuk ke dalam orang yang dizhalimi dan doanya cepat terkabul oleh Allah SWT. Setelah fitnah ada yang namanya Ghibah.
Ghibah adalah membicarakan orang lain yang tidak hadir , sesuatu yang tidak disenanginya. Termasuk yang dibicarakan itu ,sesuai dengan keadaan orang yang dibicarakan.
Nah jika yang dibicarakan adalah keburukan orang tersebut, sampailah ia pada istilah Buhtan (bohong besar). Berikut hadist tentang ketiga istilah tersebut:
Diriwayatkan dari Abu Hurairah sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda: tahukah kalian apa itu ghibah? para sahabat menjawab Allah dan Rasulnya lebih tahu. Rasul menjawab, “Jika yang disebutkan itu benar, maka kamu telah melakukan ghibah (membicarakan aib orang). Dan sekiranya yang disebutkan itu tidak benar, maka engkau telah melakukan buhtan (kebohongan).” (HR.Muslim).
c. Petunjuk Menjaga Lisan
- Menjauhi kebiasaan berkata bohong dan tidak bermanfaat
- Jauhi pembicaraan yang batil, kotor, dan jorok
- Jangan berbicara dusta atau palsu
- Jangan gunakan lisanmu untuk menggunjing
- Jangan berkata kasar (Q.S. Ali Imran 3): 159)
- Jangan mengadu domba
- Jawablah panggilan orangtua dengan sopan dan santun (Q.S. al-Isra (17): 28).
Pengertian Aib
Aib adalah cela, cacat, nista, noda, perilaku hina, atau ada juga bermakna kiasan, yaitu: arang di muka. Biasanya digunakan dalam kalimat, bagaikan menaruh arang di muka. Melalui kalimat itu, yang bersangkutan sudah dibuka aibnya, sehingga sangat malunya, hancur lebur martabat dan nama baiknya, seakan-akan sudah runtuh hidupnya, disebabkan aibnya dibuka atau tersebar Begitu beratnya keburukan akibat aib yang dibuka, maka siapa pun kita, jika mengetahui aib, maka hendaklah kita menutupi dan menyimpan rapat-rapat aib tersebut, jangan sampai malah disebar ke khalayak ramai. Kenapa bisa begitu? Jawabannya jika kita sendiri mempunyai aib, inginnya aib itu disimpan rapat-rapat dan enggan jika aib itu tersiar.
Tidak ada satu pun manusia yang ingin aib dibuka. Aib adalah keburukan yang bersifat rahasia. Disebabkan sifatnya yang rahasia, biasanya hanya diketahui oleh yang bersangkutan, atau beberapa orang tertentu. Mayoritas orang, bahkan bisa dikatakan ‘orang gila’, ingin aibnya terus tersembunyi, tidak ada yang ingin aibnya terbuka atau disiarkan pihak lain.
Setiap manusia, tampil dengan kelebihan dan kekurangan. Itu sifat dasar yang dimiliki setiap orang. Hal terbaik yang dapat dilakukan seseorang, sepanjang hidupnya adalah terus menemukan kelebihan, dan di saat yang bersamaan mampu mengurangi kekurangan dirinya. Di antara kekurangan itu, muncul aib-aib yang harus ditutupi, dikarenakan pelbagai macam sebab dan alasan.
Macam-Macam Aib
- Aib Dzahir, yaitu: aib yang nampak dan dapat diketahui secara lahir, jika diperhatikan betul. Misalnya cacat pada barang-barang perdagangan, contohnya buah-buahan yang busuk, atau mebeler yang kelihatan cacatnya.
- Aib Tersembunyi, yaitu aib yang tidak nampak, karena disembunyikan. Tidak terlihat, meski sudah diperhatikan betul-betul. Ambil contoh, beras yang sudah dicampur antara beras premium, super, dengan golongan yang biasa. Atau kacang-kacangan yang bagus atasnya, sementara yang bawah kondisinya kurang baik. Semuanya tidak kelihatan, jika tidak diurai atau dibuka semuanya.
Aib dan Medsos
Dunia modern dengan kecanggihan teknologinya, menambah beban lagi bagi manusia, meskipun melalui teknologi pula, manusia dimudahkan hidupnya. Di titik inilah, pentingnya teknologi itu tetap dipandu norma agama dan aturan moral, sehingga orang tidak mudah menyalahgunakan teknologi.
Di antara penyalahgunaan teknologi adalah orang begitu mudah membuka aib orang lain. Hal ini boleh jadi dilatarbelakangi adanya rivalitas (persaingan), persinggungan kepentingan, bahkan sifat iri dengki yang dimiliki. Saat ini, orang begitu mudah tumbang nama baik dan martabatnya dari penyalahgunaan media sosial (medsos), baik dari WhatsApp, Twitter, Instagram maupun Facebook, Telegram, bahkan Blog.
Contohnya, ada raja, presiden atau calon presiden, perdana menteri, atau tokoh berpengaruh, bisa turun tahta sendiri atau diturunkan oleh rakyatnya, akibat aibnya dibuka di tengah-tengah masyarakatnya, melalui medsos atau media internet lainnya. Hal ini bukan hanya terjadi di negara kita, tetapi juga terjadi di negara-negara lain.
Peristiwa tersebut, membawa kesadaran kepada kita, agar hidup ini jangan banyak kesalahan, dosa dan kemaksiatan (baik pelanggaran menurut pandangan Allah Swt. maupun manusia). Sebab, banyaknya kesalahan sama saja dengan menumpuk aib dan berakibat hidupnya banyak dilakukan hanya untuk menutupi aib, akhirnya tidak menemukan ketenangan dan ketenteraman dalam hidupnya.
Pada titik inilah, Islam membimbing kita, bahkan sejak kecil, kita diajarkan untuk menjauhi perbuatan dosa dan kemaksiatan. Jikalau juga melakukannya, segera dan cepat bertaubat, agar aibnya terkikis, sehingga hidupnya produktif dan optimal, akhirnya keberhasilan demi keberhasilan yang didapatkan.
Tersimpul, bahwa aib itu harus ditutupi. Jangan mudah menggerakkan jari yang dikaitkan dengan medsos. Teliti dan selektiflah dalam menerima informasi. Jika itu benar, share! Sebaliknya, jika tidak, ya jangan dishare. Begitu juga, tercela sekali, jika ada orang yang mencari-cari kesalahan atau aib seseorang. Kita diingatkan oleh Allah Swt. melalui firmannya, yaitu: Wahai orang-orang yang beriman! Jauhilah banyak dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain, dan janganlah ada di antara kamu yang menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat, Maha Penyayang (Q.S. al-Hujurāt/49: 12).
Melalui ayat ini, Allah Swt. melarang orang beriman melakukan prasangka buruk, mencari-cari kesalahan pihak lain, dan melarang bergunjing. Bahkan, bagi yang gemar bergunjing diumpamakan seperti orang yang memakan daging saudaranya yang sudah meninggal. Sungguh perilaku yang bukan saja menimbulkan dosa, tetapi juga amat menjijikkan.
Rasulullah Saw Bersabda: Dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah Saw. Bersabda: Barang siapa menutupi aib saudaranya di dunia, maka Allah akan menutupi aibnya di dunia dan akhirat.’ (HR. Muslim).
Berdasarkan penjelasan tersebut, janganlah kita menjadi pribadi yang suka membuka aib orang. Meskipun jika dikaitkan dengan kondisi saat ini di Indonesia, muncul begitu banyak infotainment yang mengulas gaya hidup para selebriti, baik yang ditayangkan di televisi maupun di majalah atau koran, yang mayoritas mengumbar aib diri sendiri maupun orang lain.
Akibat Aib
Aib bukan saja membawa madharat (bahaya) kepada yang bersangkutan, tetapi juga pihak lain, termasuk masyarakat luas. Kisah Nabi Musa a.s. dengan umatnya dapat dijadikan ibrah (pelajaran). Secara umum, kisahnya sebagai berikut: Terjadi kemarau panjang, lalu Sang Nabi mengajak umatnya untuk Shalat Istisqa’. Anehnya setelah dilakukan, ternyata hujan tidak turun-turun.
Akhirnya Shalat Istisqa’ dilakukan berkalikali, namun tidak kunjung turun hujan juga. Lalu Nabi Musa a.s mengadu kepada Allah Swt. kenapa tidak turun hujan? Dijawab oleh Allah Swt., hal itu disebabkan ada di antara umatmu yang suka berbuat dosa dan maksiat. Syarat hujan akan turun, jika peserta itu, harus keluar.
Nabi Musa a.s menyampaikan pidato di depan umatnya tentang hal itu. Namun, jamaah yang merasa dialah orangnya, malu jika keluar dari jamaah. Takut dipermalukan banyak orang, disebabkan aib yang dimiliki. Akhirnya orang tersebut, tidak mau keluar, tetapi bertaubat dengan sungguh-sungguh kepada Allah Swt. lalu diterima tobatnya, lalu tidak lama kemudian turunlah hujan.
BAB | Judul Materi | Rangkuman |
1 | Membiasakan Berpikir Kritis dan Semangat Mencintai Iptek | Baca Rangkuman |
2 | Bukti Beriman: Memenuhi Janji, Mensyukuri Nikmat, Memelihara Lisan, Menutupi Aib Orang Lain | Baca Rangkuman |
3 | Menghindari Perkelahian Pelajar, Minuman Keras, dan Narkoba | Baca Rangkuman |
4 | Menebarkan Islam dengan Santun dan Damai Melalui Dakwah, Khutbah, dan Tablig | Baca Rangkuman |
5 | Meneladani Jejak Langkah Ulama Indonesia yang Mendunia | Baca Rangkuman |
Posting Komentar
Posting Komentar